Search

Fenomena IPO Saham Mini dan Harga yang Melambung Tinggi - CNBC Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia -Penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) di bursa tak selamanya bernilai triliunan. Bahkan, IPO saham mini sudah mulai mendominasi daftar perusahaan yang melantai di bursa saham tahun ini.

Hingga hari ini, penawaran umum perdana saham dengan raihan dana Rp 100 miliar ke bawah sudah mencapai 25 perusahaan, atau berarti separuh dari total 50 perusahaan yang menggelar IPO sejak awal tahun.

Dana raihan IPO paling mini dibukukan oleh PT Singaraja Putra Tbk (SINI) senilai Rp 18,9 miliar. Saham perusahaan yang dipimpin oleh Prilli Budi Pasravita Soetantyo itu mencatatkan sahamnya pada 8 November.

Di sisi lain, perusahaan yang menggelar IPO dan sudah mendapatkan dana tepat di batas Rp 100 miliar adalah perusahaan pemurnian dan pemrosesan metal dan mineral yaitu PT Trinitan Metals and Minerals Tbk (PURE).


Faktanya, dengan separuh dari emiten bernilai tak seberapa itu maka target kuantitas IPO perusahaan yang ditetapkan Bursa Efek Indonesia sudah hampir tercapai, meskipun hanya diakui secara tersirat oleh manajemen salah satu self regulatory organization (SRO) pasar modal tersebut.

"Makanya sekarang jargonnya: menjadi besar. Jangan tunggu Anda menjadi besar masuk pasar modal, nanti kamu tidak akan melihat akselerasinya yang luar biasa. Berikan kesempatan kepada mereka," kata I Gede Nyoman Yetna, Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia pada awal tahun ini.

Tahun ini, otoritas bursa sudah memiliki target sejak awal tahun dapat menggeret sebanyak 57 perusahaan untuk menjadi penghuni baru papan bursa. Tidak salah memang bagi si perusahaan mini untuk IPO, karena memang tidak ada perbedaan pelayanan bagi perusahaan besar-kecil di pasar modal.

Namun, yang luar biasa, dari 25 perusahaan dengan nilai IPO mini tersebut, hampir setengahnya atau tepatnya 12 perusahaan mengalami kenaikan harga saham di pasar hingga lebih dari dua kali lipat dari harga IPO perusahaan, atau juga berarti lebih dari 100%. Kenaikan harga sahamnya dihitung berdasarkan harga penutupan hari ini (5/12/19).

Kenaikan harga saham tertinggi dibukukan oleh perakit dan distributor sepeda listrik yaitu PT Gaya Abadi Sempurna Tbk (SLIS). Saham perusahaan yang dipimpin oleh Edi Hanafiah Kwanto tersebut baru dicatatkan pada 7 Oktober. Dengan kenaikan harga saham sebesar 3.691% dari harga IPO, berarti efek ekuitas perusahaan sudah naik lebih dari 37 kali lipat dalam waktu kurang dari sebulan.

Di bawah nama Gaya Abadi, berturut-turut ada operator hotel PT Citra Putra Realty Tbk (CLAY), jasa kurir PT Krida Jaringan Nusantara Tbk (KJEN), PT Golden Flower Tbk (POLU), PT Jasnita Telekomindo Tbk (JAST), SINI, dan produsen tembakau lintingan PT Indonesian Tobacco Tbk (ITIC).

Setelah itu, baru mengikuti perusahaan investasi milik bankir investasi Steffen Fang yakni PT Surya Fajar Capital Tbk (SFAN), PT Wahana Interfood Nusantara Tbk (COCO), PT Berkah Prima Perkasa Tbk (BLUE), PT Asia Sejahtera Mina Tbk (AGAR), dan PT Sinergi Inti Plasindo Tbk (ESIP).

Yang lebih menarik adalah saham-saham yang sekarang sudah berada di bawah harga IPO atau bahkan sudah menyerah di batas terakhir harga saham terendah Rp 50.

Dua saham yang 'nyender' di harga Rp 50 adalah PT Capri Nusa Satu Properti Tbk (CPRI) dan PT Hotel Fitra International Tbk (FITT), sehingga bagi yang membeli sahamnya ketika IPO maka harus menelan potensi kerugian 60% dan 50,98%.

CPRI dan FITT hanyalah dua contoh saham yang sempat meroket di hari-hari awal pencatatan, bahkan sempat merasakan nikmatnya mencapai batas teratas pergerakan harga saham harian, atau biasa disebut auto reject atas (ARA). Meskipun akhirnya kandas dan belum pernah kembali lagi ke posisi yang bisa dianggap tinggi.

Pemilik perusahaan, tentu punya misi yang berbeda-beda dalam menawarkan sahamnya ke publik dengan target perolehan dana yang mini-mini tersebut.

Sebelum IPO, saham sebuah perusahaan tentu tidak banyak artinya kecuali mempengaruhi bagian dari pembagian dividen ketika perusahaan sudah mampu menggalang laba bersih. Hal itu langsung berubah setelah IPO. Setelah dicatatkan di papan bursa, sebuah saham dapat memiliki banyak nilai dan langsung bisa dianggap aset.

Setelah listing di bursa, harga sahamnya yang naik gila-gilaan tentu akan menguntungkan pendiri perusahaan karena nilai saham yang dia pegang akan berlipat ganda mengekor dari pergerakan sahamnya di bursa.

Ada lagi yang bisa dimanfaatkan pemilik saham mayoritas perusahaan. Dengan kenaikan sahamnya di pasar, si pemilik perusahaan dapat menggalang lagi dana melalui mekanisme penawaran umum terbatas (rights issue).

Transaksi harian pun biasanya ditingkatkan agar sahamnya masuk kriteria indeks tertentu, yang tentu akan memancing lebih banyak investor yang berniat membeli saham perseroan, baik secara langsung dan terbuka di pasar maupun secara tertutup (private placement).

Sebuah saham, juga umum dijadikan jaminan pinjaman begitu sudah listing. Transaksi pinjam-meminjam itu bisa dilakukan di perbankan maupun secara individu di pasar modal. Praktik ini juga lebih lumrah dikawinkan dengan skema gadai, atau repurchase agreement (repo). Sederhananya, Anda meminjam uang dengan jaminan, dan saham perusahaan terbuka sudah lumrah dijadikan jaminan pinjaman tersebut.

Artinya, pemilik saham mayoritas atau pengendali sebuah emiten dapat meminjam dana dengan jaminan (agunan, kolateral) saham perusahaan 'tbk'-nya. Jika pinjaman sudah dilunasi, barulah sahamnya dikembalikan ke pemilik perusahaan. Biasanya pun peminjaman dana ditujukan untuk operasional emiten bursa tersebut.

Skema repo biasanya memiliki rasio jumlah jaminan saham yang lebih besar dari nilai pinjaman, misalnya bernilai 150% di atas nilai pinjaman. Mekanisme itu memungkinkan saham perseroan dapat 'dibuang' di pasar oleh kreditur jika pinjaman tidak dilunasi pemilik perusahaan 'tbk' sesuai tenggat waktu.

Mari kita contohkan melalui simulasi pergerakan sebuah saham. Jika dia IPO dengan raihan Rp 10 miliar, jangan bingung jika harganya dapat naik hingga 500% dalam 6 bulan, misalnya. Kenaikan saham itu akan membuat perusahaan dapat meraih pendanaan yang lebih besar dibandingkan jika harga sahamnya hanya naik 50% pada periode yang sama.

Bagusnya adalah dana itu dapat digunakan untuk keperluan perusahaan, tetapi akan bahaya jika digunakan untuk keperluan senang-senang si pemilik perusahaan. Artinya, dana yang tadinya ditujukan untuk pengembangan perusahaan berakhir di lapak orang lain, kinerja perusahaan tidak sebagus yang diinginkan, dan laba yang diharapkan dapat melunasi utang justru tidak terealisasi.

Saham-saham macam demikian juga lebih mudah turunnya. Alasan paling umum adalah kreditur repo saham menjual barangnya karena transaksi tidak lancar. Alasan lain adalah saling tutup kolateral dengan saham sejenis jika ada saham yang sering dijuluki saham 'abu-abu' itu turun.

Risiko besar tentu mengintai investor yang ingin membeli saham IPO di pasar perdana, atau yang tergoda dengan pencapaian auto reject atas (ARA) dan berharap akan berulang-ulang di kemudian hari. Pasar perdana adalah mekanisme penjualan saham ketika sahamnya belum listing di papan bursa, dan pasar sekunder terjadi setelah saham perseroan dicatatkan.

Bagi yang sudah tercebur, tentulah pusing tujuh keliling. Apalagi bagi investor yang belum siap melihat portofolionya merah dan terlalu takut untuk merealisasikan kerugian akibat penurunan harga (cut loss). Ada juga investor yang tidak bisa menjual karena sudah berada di zona degradasi Rp 50 atau bahkan sahamnya sudah terkena suspensi transaksi.


Kembali lagi: IPO perusahaan mini bukanlah praktik haram. Namun, banyak celah di sana yang bisa menjadikan investor dan pedagang saham awam menjadi sansak empuk bagi pendekar-pendekar pasar.

Bagusnya, otoritas bursa berniat memiliki aturan tentang pembagian kelas IPO, beserta insentifnya. Sekat yang berniat dibangun bursa adalah IPO dari skala kecil dengan raihan dana maksimal Rp 50 miliar, skala menengah dengan raihan dana IPO maksimal Rp 250 miliar, dan selebihnya adalah perusahaan skala besar

Asalkan saja, peraturan baru itu nantinya tidak menambah rumit mekanisme serta tidak membatasi tetapi justru memberi insentif. Insentif paling sederhana sudah tentu adalah ketentuan fee yang besar untuk setiap IPO jumbo bagi sekuritas.

Apalagi, saat ini yang dibutuhkan adalah tangan-tangan tidak terlihat (invisible hands) otoritas pasar modal dan bursa untuk membantu meningkatkan kepercayaan pasar dan semakin melindungi pasar, sehingga bukan cuma fungsi evaluasi yang berjalan tetapi juga mekanisme kordinasi demi membesarkan pasar modal yang masih segini-segini saja.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(irv/irv)

Let's block ads! (Why?)



"bursa" - Google Berita
December 05, 2019 at 09:09PM
https://ift.tt/2RoEyas

Fenomena IPO Saham Mini dan Harga yang Melambung Tinggi - CNBC Indonesia
"bursa" - Google Berita
https://ift.tt/2Nd6yfP

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Fenomena IPO Saham Mini dan Harga yang Melambung Tinggi - CNBC Indonesia"

Post a Comment

Powered by Blogger.