Berdasarkan data BEI mencatat baru ada tiga perusahaan e-commerce yang sudah mencatatkan saham di BEI, yaitu PT NFC Indonesia Tbk (NFCX), PT M Cash Integrasi Tbk (MCAS), dan PT Kioson Komersial Indonesia Tbk (KIOS).
Alfred menuturkan, regulasi yang belum ajeg bagi perusahaan e-dagang ini menjadi tantangan yang cukup berat. Misalnya, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) e-commerce yang sudah bergulir sejak 2015 silam belum juga rampung sampai saat ini. Dalam hal regulasi, ia mencontohkan sebuah perusahaan transportasi daring, kebijakannya masih juga tarik ulur.
"Ini menjadi gambaran pasar terhadap sektor e-commerce, artinya tantangan ke depan bicara peraturan, ini risiko yang signifikan, itu tantangan besar calon emiten e-commerce membuat keyakinan pasar terhadap sektornya semakin kuat," kata dia.
Belum lama ini, perusahaan e-commerce business-to-business Bhinneka.com memutuskan untuk menunda rencana untuk go public lewat penawaran saham perdana (Initial Public Offering/ IPO) lantaran masih menunggu tambahan modal. Sebelumnya, Bhinneka menunda melantai di bursa saham lantaran adanya konstelasi Pemilihan Presiden 2019.
"Kita sudah mempersiapkan ini sudah cukup lama bahkan kita sudah sempat coba tahun lalu untuk mendaftar ke IDX (Bursa Efek Indonesia) bahkan kita udah mendapat persetujuan," ungkap Hendrik, seperti dilansir CNN Indonesia, kemarin.
Potensi Besar
Berdasarkan catatan CNBC Indonesia, saat ini ada empat perusahaan-perusahaan e-commerce kategori unicorn yang valuasinya di atas 1 miliar dolar AS atau setara Rp 14,10 triliun dengan asumsi kurs Rp 14.100 per USD. Keempat perusahaan tersebut adalah Gojek, Traveloka, Tokopedia dan Bukalapak.
Riset terbaru McKinsey berjudul "The Digital Archipelago: How Online Commerce is Driving Indonesia Economi Development" yang dipublikasi Agustus 2018 lalu memproyeksikan, nilai pasar e-commece di tanah air akan mencapai 65 miliar USD, atau sekitar Rp 916 triliun, dengan asumsi kurs Rp 14.100 per USD pada 2020 mendatang. Nilai tersebut tercatat melompat delapan kali lipat dari nilai pasar e-commerce sepanjang 2017 sebesar 8 miliar USD, setara Rp 112 triliun.
"Kami memperkirakan bahwa pada tahun 2022, e-commerce Indonesia akan secara langsung atau tidak langsung mencipatakan sekitar 26 juta lapangan pekerjaan," tulis McKinsey, dalam laporannya.
Pemerintah sendiri sebelumnya menggulirkan wacana mendorong perusahaan-perusahaan unicorn Indonesia, untuk mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia. "Saya berharap yang unicorn masuk ke bursa efek Indonesia," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, saat saat menghadiri acaran pencatatan saham perdana PT NFC Indonesia Tbk (NFCX) beberapa waktu lalu. (hps)
https://www.cnbcindonesia.com/market/20190110182805-17-50105/ini-alasan-unicorn-indonesia-enggan-melantai-di-beiBagikan Berita Ini
0 Response to "Ini Alasan Unicorn Indonesia Enggan Melantai di BEI - CNBC Indonesia"
Post a Comment